Jika Tidak Disini, Mungkin Disana

Mereka bertanya-tanya,

Mengapa saya segitu hebohnya menyambut Perahu Kertas the Movie?

Bukankah semua pertanyaan punya jawaban?

Bagaimana jika ini tidak ada jawaban, demi sebuah alasan.

Yaeaaah…benar. Alasan selalu bisa dicari untuk sebuah jawaban. Bagaimana jika alasan tidak menjawab adalah jawaban itu sendiri?

ENTAHLAH!

*ribet bener yak? :p

Baedewei…

Saya benar-benar antusias menyambut Perahu Kertas the Movie. Alasannya apa? Kan tadi saya sudah bilang, alasannya ya tidak ada jawaban! Hewhewhewhew… šŸ˜€

Yang jelas saya suka novelnya, itu saja.

Kenapa saya suka? Lagi-lagi alasannya ya tidak ada jawaban! Hanya suka saja.

Oke, baiklah!

Saya cerita!

Karena Perahu Kertas itu adalah Perahu Kertas! Perahu Kertas bagi saya sendiri! Saya yang punya versi Perahu Kertas saya sendiri!

Dari seorang sahabat kecil, beliau yang meminta saya membaca Perahu Kertas, kira-kira sekitar tahun 2009 saat saya tengah pusing-pusingnya mengumpulkan referensi untuk T.A perkuliahan saya.

Saya nyaris kehilangan imajinasi saya yang katanya membuncah-buncah tidak karuan. Dia, entahlah. Saya selalu mengatakannya sebagai fans berat saya. Dia suka sekali membaca atau sekedar mendengarkan imajinasi saya yang liar. Dia bisa tenggelam dan larut sejauh-juahnya dalam imajinasi saya yang saya beberkan padanya.

Kadang di tengah jalan, apapun yang dia lihat, dia pasti ceritakan ke saya. Atau meminta saya juga melihat ke arah sana. Lalu menunggu reaksi saya, menunggu imajinasi saya keluar begitu saja. Dia dengan tekun menunggui saya yang menggila dengan imajinasi saya, mendepak dia sejauh-jauhnya dari dunia saya. Dia hanya melihat dari luaran dunia saya, saya yang tengah sibuk dengan dunia imajinasi saya, menulis atau mengoceh seperti meracau.

Bahkan jika pun itu yang kami lihat hanya kejadian saat seseorang yang tengah hausĀ  di pinggir jalan, lalu membeli sebotol ait mineral, lalu membuang botolnya ke dalam tong sampah. Sekejap saja dia akan terdepak keluar dari pandangan realita. Dia hanya akan terlempar sejauh mungkin dari kelebatan imajinasi milik saya yang seketika liar ingin menulis atau pun mengoceh meracau lagi. Menciptakan sebuah kisah atau cerita dari adegan yang kita lihat itu.

Lalu dia dengan sabar menungui saya kembali ke dunia dimanaĀ  bisa bersama saya lagi.Dan disana saya dapat dengan nyata melihat ke dalam matanya. Melihat reaksinya atas imajinasi saya yang baru saja terjadi. Dia tertawa, kadang malah tersenyum, dan kadang terlihat berduka.

Dia hanya tidak kecewa…

Saya waktu itu menolak untuk membaca novel Perahu Kertas. Meskipun saya suka karya-karya sang penulis novel itu. Bahkan saya menempatkan kumpulan cerpen sang penulisnya yang berjudul “Filosofi Kopi” sebagai imajinasi kedai kopi milik kita! Hahahaha… šŸ˜€

Saya hanya tau saja bahwa dia masih bisa menemukan imajinasi saya dimana-mana. Saya percaya dia masih bisa melihat imajinasi saya. Meskipun entahlah dia tau bahwa pada waktu itu akhirnya saya memang membaca Perahu Kertas.

Kini, Perahu Kertas sudah dalam bentuk versi Film.
Saya ingin segera menontonnya.

Dan membiarkan perahu Kertas versi saya sendiri terjaga selamanya dalam imajinasi saya. Tentang Perahu Kertas saya sendiri.

Perahu Kertas versi saya sendiri

 

Hari ini, bertahun-tahun setelah hari itu. Hari ini hari pertama Perahu Kertas diputar di Bioskop. Saya akan menontonnya, bukan di hari yang pertama. Entah di hari yang keberapa, saya haya kan menonton, InsyaAllah.

Tiba-tiba dia datang hanya untuk memberi tanda bahwa dia tau Perahu Kertas telah di Filmkan.Ā  Lalu katakan:

“Aku hanya menunggu layang-layang yang selalu kamu gambarkan di tanah itu akan terbang tinggi ke langit yang sebenarnya.”

Ah…ya…layang-layang!

Itulah Perahu Kertas versi saya sendiri!

Sejak sebelum masa Taman Kanak-Kanak bersamanya, hampir semua orang heran melihat saya saat membuat lukisan di atas tanah, selalu menyelipkan gambar layang-layang kecil di sudutnya. Layang-layang di tanah tapi berlatar LangitBiru, Pelangi, Matahari, Bintang, Bulan, dan Balon.

Layang-layang yang terbang di tanah.

Saya hanya berharap dia hanya tetap di tempatnya. Saya pun tetap di tempat ini. Untuk sebuah alasan yang tidak ada jawabannya.

Saya besyukur bahwa dia tidak bertanya bagaimana saya menjalani semua ini. Tidak bertanya apakah saya hidup dengan baik. Tidak bertanya apakah senyum saya masih seperti kembang api dulu. Buat semua menjadi terasa lebih mudah. Tetaplah menjadi sahabat kecil yang selalu menatap imajinasi saya, menunggui saya hingga muncul pada realita.

Terimakasih untuk segala kepercayaan penuh pada saya untuk mengembangkan diri sendiri. Memberikan saya kesempatan berdiri sendiri dengan kemampuan saya, memaksa saya untuk lebih peduli pada apa yang saya cari untuk saya sendiri. Terimakasih untuk peduli pada kebahagiaan saya meski itu membuat kamu terdepak jauh dari saya.

Maaf untuk mendepak mu tidak hanya diimajinasi tapi juga realita untuk sebuah alasan yang tidak ada jawabannya.

Jika merasa tidak menemukannya, itu hanya karena matamu belum kau buka untuk melihatnya. Hatimu belum kau biarkan terbuka untuk merasakannya.

Seseorang dari masing-masing kita telah terlahir di suatu hari untuk tumbuh dan berkembang melalui proses panjang kehidupan yang sementara ini untuk nantinya saling mendampingi tak hanya di dunia, tapi hingga di akhirat nanti.

Kita hanya akan bertemu lagi, jika tidak disini, mungkin disana.

Leave a comment